Bunda Cinta Parenting Centre | Melayani Anda ..

Mari kita bahu membahu ciptakan kualitas generasi penerus dan diri kita...

Pendidikan adalah Investasi

Siapa tidak pernah menanam, maka jangan pernah harapkan panen.

Mendidik dan Melatih

Pendidikan memang berat namun hasilnya paten dan bertahan lama. Membekali pendidikan menjamin masa depan yang lebih baik...

Mari Dorong Kesuksesan Setiap Diri

Bahagia menjadi bagian kesuksesan siapapun adalah jiwa besar. Kebesaran jiwa akan menghasilkan capaian-capaian besar berikutnya...

Setia Kepada Setiap Proses

Sukses = Suka Proses. Barangsiapa berproses dan mencintai prosesnya, maka ia akan makin dekat dengan capaian impiannya..

Kamis, 18 Desember 2014

Reward and Punishment, Pentingkah bagi Anak?

Oleh. Bunda Shinta

Hadirkan senyum diwajah anak-anak kita

              Ayah bunda, anak kita akan menjadi seperti apa yang kita harapkan manakala kita memperlakukan mereka dengan tepat sesuai situasinya. Terkadang kita melewatkan moment dimana anak kita perlu apresiasi dan mendapatkan empowerment dari kita. Bentuk apresiasi atas anak ini beragam namun ada yang khusus dalam merespons sikap anak. Nah salah satu pendekatan itu, adalah reward dan punishment.
         Reward adalah bentuk apresiasi sikap atau perilaku anak dalam bentuk sesuatu yang dia ‘suka’. Dalam bahasa mudah ini adalah hadiah buat mereka. Sementara Punishment adalah pemberian sangsi atau orang tua suka mengistilahkannya hukuman.

Kita buat kesepakatan yuk antara Ayah-Bunda dan Ibu Guru tentang pemberian Reward- Punishment yang sesuai bagi anak. Hal-hal yang kita sepakati adalah:

1.      Tidak menggunakan kata hukuman bagi kesalahan anak.

                     Tapi memberi pengertian pada anak bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan konsekuensi atau efek bagi anak. Setiap konsekuensi adalah hasil dari perbuatannya, baik positif atau negatif. Hal ini kita lakukan agar anak terbiasa memiliki rasa tanggungjawab dan tau akan semua konsekswensi atas setiap perbuatannya.

2.      Pentingkah melakukan kebiasaan ini?

                         Menurut saya; Ya, penting. Karena dengan membiasakan memberi reward kepada anak akan membuat anak merasa berharga, dan juga bisa menjadi salah satu cara memotivasinya ke arah yang lebih baik. Apakah kebiasan ini nantinya tidak akan membentuk anak yang manja dan selalu mengharapkan balasan dari perbuatannya. InsyaAllah tidak, tentu saja jika kita melakukannya dengan cara yang tepat. Sesuai dengan perjalanan umur dan kedewasaannya kelak anak akan sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baik. Sebenarnya secara tidak langsung, kita orang dewasa pun sehari-hari juga selalu melakukan sesuatu karena adanya ‘motif’ atau iming-iming akan sesuatu, misalnya yang paling tinggi adalah mengharap pahala (surga) atau menghindari dosa (neraka). Bagi anak-anak usia TK (4-6 tahun), menurut Piaget dalam teori perkembangan anak, mereka berada dalam tahap Pra-Operasional Kongkrit, artinya mereka berada di dalam fase yang belum bisa membayangkan ssesuatu yang tidak nyata, juga masih belum bisa memahami sudut pandang orang lain terhadap sesuatu, sehingga bagi anak usia anak-anak kita di TK belum dapat mengkonkritkan surga atau neraka ke dalam pikiran atau kalbunya, maka perlu untuk mewujudkan konseksuensi tersebut dalam bentuk yang nyata. Lalu menjadi kewajiban kitalah para orangtua untuk mencari cara yang cerdas dan kreatif dalam melakukan teknik iming-iming ini.

3.      Bagaimana bentuk pemberian konsekuensi yang baik bagi anak?

Yang penting diingat adalah berilah konsekuensi tersebut sesuai dengan kadar perbuatan anak, jadi harus proporsional. Tidak melakukan generalisasi atas sebuah hal baik akan diberi satu jenis reward, begitupun satu hal tidak baik akan diberi satu jenis imbalan yang tidak baik juga, tetapi harus pandai membedakan dengan segala macam variasi konsekuensi, baik berdasarkan besar kecilnya kesalahan atau intensitasnya, baru pertama kali kah atau sudah berulang-ulang. Lalu bentuknya bagaimana, akan kita bahas demikian:

a.       Reward atau konsekuensi perbuatan baik; tidak selalu harus berupa barang, tetapi suatu pujian, tatapan mata hangat, pelukan, ciuman, melakukan tos dengan anak, belaian, atau memberikan jempol pada anak, juga merupakan suatu bentuk ungkapan hadiah bagi anak. Jika memang ingin memberikan suatu hadiah barang pada anak, pilihlah momen-momen yang pas yang sangat berarti, misalnya saat kenaikan kelas, saat lulus dari Iqra’ 6, atau saat lulus menunaikan puasa ramadhan. Barang yang dipilih juga sebaiknya memang barang yang sangat diperlukan anak dan memang kewajiban orangtua untuk membelikannya. Jadi pemberian reward tidak akan menjadi beban ekonomi bagi orangtua, sebaliknya bagi anak akan memberikan kesan yang mendalam atas prestasi atau perbuatan baiknya. Jadi, jangan membelikan apa-apa kebutuhan anak, terlebih dengan harga mahal, tanpa mengatakan dengan jelas itu akibat dari konsekwensi perbuatannya yang mana, karena sayang sekali jika dilewatkan momen yang dapat menimbulkan motivasi bagi anak. Misalnya ketika si anak mengatakan bahwa sepatunya sudah mulai kesempitan, maka Ibu bisa berkata: Oke nanti Ibu belikan yang baru, kita liat dulu ya hasil raportmu nanti bagaimana…, tinggal sebulan lagi kan terima raport? Dengan demikian anak tentunya akan terpacu lebih giat belajar. Nah, ketika hasil raportnya memang memuaskan, si Ibu ya harus menepati janjinya untuk mebelikan sepatu. Kalau pun hasilnya kurang memuaskan, dapat dikatakan: Ya kita tetap beli sepatu, tapi tidak semahal atau sebagus yang kamu inginkan….

b.      Punishment atau konsekuensi dari perbuatan yang tidak atau kurang baik harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: tidak boleh sama sekali merendahkan harga diri anak, tidak boleh memberi hukuman fisik sama sekali (seperti memukul, menjewer atau mencubit), tidak menggunakan kata-kata ancaman (seperti awas !!). Rasa sakit yang dirasakan anak akibat hukuman fisik mungkin akan hilang hanya dalam hitungan menit atau hari, tetapi rasa sakit di kalbunya akan terbawa sampai ia dewasa kelak dan dapat mempengaruhi pembentukan karakter pribadinya. Kata-kata ancaman yang diberikan kepada anak sebenarnya sudah merupakan hukuman bagi anak sebelum ia melakukan apa-apa, bisa jadi hal tersebut justru menghambat potensi dan kreativitasnya untuk berkembang.

4.      Setiap konsekuensi yang diberikan sebaiknya selalu mengandung nilai (value), dan setiap nilai yang ingin ditransfer sebaiknya diucapkan agar tidak terjadi mis-persepsi pada anak.

                    Misalnya ketika suatu saat sang anak sangat manis, tertib dan melakukan segala sesuatu sangat sesuai dengan yang diharapkan orangtuanya, lalu orangtuanya membelikan berbagai macam barang tanpa mengucapkan apa-apa, maka bisa saja sang anak berfikir bahwa orangtuanya sedang banyak uang sehingga memberikannya banyak hadiah. Nah, sayang sekali jika kita kehilangan momen seperti itu. Akan lebih bermakna jika orangtua mengatakan misalnya: ini Ibu belikan mukena baru karena kamu sholatnya sangat rajin, jadi mukena ini bisa untuk kamu ganti-ganti kalau sholat, hal ini akan semakin memacu anak untuk lebih giat lagi sholatnya. Atau seorang Ibu yang sedang marah pada anaknya karena tidak mau merapikan mainannya, tapi ibu hanya melakukannya dengan memberi wajah cemberut pada anak, maka hal itu tidak akan ‘nembak’ ke sasaran yang dituju. Lebih baik katakan bahwa “Ibu sangat senang dan semakin sayang kalau adek mau merapikan mainannya.”

·                                    Bersikap adil lah para Ayah dan Bunda, tidak hanya pandai melihat kesalahan atau kekurangan anak sehingga mudah memberikan punishment, tetapi juga jeli melihat kepandaian atau kelebihan anak kita, sehingga kita juga tidak pelit dalam memberikan pujian atau hadiah pada anak kita. Setiap anak dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukankah dengan menjadi orangtua cerdas dalam memilih reward-punishment yang tepat bagi anak, akan membuat anak kita cerdas untuk bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.


Anak adalah karunia terindah, sudah siapkah kita mengantar mereka menyambut masa depannya yang indah juga, seindah senyum-senyum mereka....

Aku ini anak Siapa?


Identitas diri anak penting ditanamkan sejak dini

‘Duhhh sudah mandi ya.., koq cantik banget sihh, anak siapa ya ini..??’
‘Anak koq dibilangin gak pernah nurut sama sekali…, anak siapa tho kamu tuh sebenarnya..?’
“Wahh kamu juara kelas lagi yaaa..?? anak siapa sih koq pinter banget…”
“Cucu siapa kamu tuh, kerjaannnya main melulu, gak ada cucu Nenek yang lain seperti kamu…”
               Hmmm, petikan-petikan kalimat di atas sudah sangat familiar di telinga kita, mungkin kita sendiri sebagai Ayah dan Bunda sering melakukannya, uupppsss… Sasarannya tidak saja anak yang masih balita, bahkan juga pada anak-anak yang sudah masuk usia sekolah bahkan remaja, atau bahkan semasa kita menjadi anak-anak sering sekali mendapat kalimat seperti itu yang ditujukan pada diri kita. Ada yang salahkah dalam kalimat-kalimat tersebut. Ayo kita cermati bersama, dan kita temukan jawabannya.. Yeachhh benar, kalimat-kalimat tersebut memiiki makna yang sama, kalimat tanya yang tidak jelas jawaban pastinya karena mengandung misteri…, wuiihhh segitunya ya…
            Sekilas memang tampak tak ada yang salah dengan kalimat itu, tapi setelah ditelaah, woowww  ternyata dampaknya sangat besar lho. Contoh kalimat-kalimat di atas baik yang isinya positif dan negatif mengandung pertanyaan: kamu anak siapa sihh..?? bagi anak artinya adalah: Lho koq pada gak tau ya aku ini anak siapa? Koq semua pada nanya: Kamu ini anak siapa sih..?? Kalau kalimat semacam itu hanya diucapkan sekali atau dua kali pada si anak mungkin tidak akan menjadi persoalan, tetapi jika itu diucapkan secara terus menerus dan ditambah lagi diucapkan oleh orang yang berbeda-beda, tentu saja akan menimbulkan kebingungan pada diri anak, sebenarnya aku ini anak siapa yaa… 

            Beberapa kali saya menemukan kasus anak yang murung, merasa tak berharga dan sejenisnya. Setelah diajak bicara dari hati ke hati, terucaplah satu kalimat yang menohok perasaan saya, sebenarnya saya ini anak siapa sih, koq ayah, ibu juga nenek dan tetangga sering sekali bertanya itu pada saya..?? apa memang aku ini bukan anak mereka sehingga mereka tak mau mengakuiku sebagai anaknya….
            Duhh, miris ketika menghadapi masalah seperti itu. Rasanya tak mungkin lah, itu hanya kalimat sepele, tapi kenyataannya ada kasus-kasus yang salah satunya dilatarbelakangi oleh perasaan-perasaan bingung dan penuh tanda tanya. Mungkin sebenarnya tak ada sedikitpun terbersit tujuan ayah atau bunda untuk membuat bingung anaknya, tetapi setiap anak bisa kan menangkap setiap kalimat dengan cara dan maknanya sendiri?? Sebagian mungkin mengucapkan kalimat demikian hanya untuk menggoda sang anak, tapi sayangnya lalu kalimat tanyanya dibiarkan menggantung. Bagi anak yang kritis dan sensitive, pertanyaan seperti itu akan memenuhi ruang hatinya dan terus menggelayut di benaknya, terutama ketika pertanyaan itu dilontarkan ketika anak berada di posisi yang tidak sejalan dengan orangtua (=membangkang atau melawan), atau pertanyaan itu berkaitan dengan merendahkan bentuk fisik, misalnya: Kamu tu anak siapa ya, koq kulitnya hitam sendiri, padahal ayah dan Ibu gak sehitam kamu…., Bagi anak yang kriti stentu akan menjawab: Lah kan bukan maunya saya dapat kulit hitam begini…?? Tapi bagi anak yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya.., pertanyaan sejenis ini akan sangat meresahkannya. So, sebelum ini menjadi masalah, kita ubah yuk kebiasaan ‘sepele’ ini. Janganlah membuat bingung anak kita dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini, kalaupun memang ingin menggunakan kalimat seperti ini, tak ada salahnya kan kalau kita sambung dengan kalimat seperti :
“ehmm ya pastinya ya anak Ayah lah yang cantik ini”, atau:
“Lho anak Ibu koq sekarang belajarnya kurang rajin ya…”,
“Nenek rasanya gak percaya kalau cucu Nenek  ni sekarang selalu jadi juara kelas.., bangganya Nenek padamu…”, dan sebagainya…
Kalimat-kalimat tersebut setidaknya akan memberi penguatan dan pengakuan pada anak bahwa kita ada di belakangnya, apapun kondisi dia. Bahwa dia benar-benar anak Ayah dan Bunda apapun sifat, kondisi dan perbuatannya. Yang jelas, satu masalah tidak ada padanya, yaitu ketidakjelasan identitas asal-usulnya. Suatu perubahan yang besar tak akan terjadi tanpa didahului oleh merubah hal-hal sepele ke arah kebaikan…..
  

Ditulis Oleh : Bunda Shinta
Puri Melati, Jogja, 12 Mei 2011
Jam  21.50

Test Page : Www.Bunda-Cinta.Com

www.bunda-cinta.com