Oleh. Bunda Shinta
Ayah bunda, anak kita akan menjadi seperti apa yang kita harapkan manakala kita memperlakukan mereka dengan tepat sesuai situasinya. Terkadang kita melewatkan moment dimana anak kita perlu apresiasi dan mendapatkan empowerment dari kita. Bentuk apresiasi atas anak ini beragam namun ada yang khusus dalam merespons sikap anak. Nah salah satu pendekatan itu, adalah reward dan punishment.
Reward adalah bentuk apresiasi sikap atau perilaku anak dalam bentuk sesuatu yang dia ‘suka’. Dalam bahasa mudah ini adalah hadiah buat mereka. Sementara Punishment adalah pemberian sangsi atau orang tua suka mengistilahkannya hukuman.
Kita buat kesepakatan yuk antara Ayah-Bunda dan Ibu Guru tentang pemberian Reward- Punishment yang sesuai bagi anak. Hal-hal yang kita sepakati adalah:
1. Tidak menggunakan kata hukuman bagi kesalahan anak.
Tapi memberi pengertian pada anak bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan konsekuensi atau efek bagi anak. Setiap konsekuensi adalah hasil dari perbuatannya, baik positif atau negatif. Hal ini kita lakukan agar anak terbiasa memiliki rasa tanggungjawab dan tau akan semua konsekswensi atas setiap perbuatannya.
2. Pentingkah melakukan kebiasaan ini?
Menurut saya; Ya, penting. Karena dengan membiasakan memberi reward kepada anak akan membuat anak merasa berharga, dan juga bisa menjadi salah satu cara memotivasinya ke arah yang lebih baik. Apakah kebiasan ini nantinya tidak akan membentuk anak yang manja dan selalu mengharapkan balasan dari perbuatannya. InsyaAllah tidak, tentu saja jika kita melakukannya dengan cara yang tepat. Sesuai dengan perjalanan umur dan kedewasaannya kelak anak akan sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baik. Sebenarnya secara tidak langsung, kita orang dewasa pun sehari-hari juga selalu melakukan sesuatu karena adanya ‘motif’ atau iming-iming akan sesuatu, misalnya yang paling tinggi adalah mengharap pahala (surga) atau menghindari dosa (neraka). Bagi anak-anak usia TK (4-6 tahun), menurut Piaget dalam teori perkembangan anak, mereka berada dalam tahap Pra-Operasional Kongkrit, artinya mereka berada di dalam fase yang belum bisa membayangkan ssesuatu yang tidak nyata, juga masih belum bisa memahami sudut pandang orang lain terhadap sesuatu, sehingga bagi anak usia anak-anak kita di TK belum dapat mengkonkritkan surga atau neraka ke dalam pikiran atau kalbunya, maka perlu untuk mewujudkan konseksuensi tersebut dalam bentuk yang nyata. Lalu menjadi kewajiban kitalah para orangtua untuk mencari cara yang cerdas dan kreatif dalam melakukan teknik iming-iming ini.
3. Bagaimana bentuk pemberian konsekuensi yang baik bagi anak?
Yang penting diingat adalah berilah konsekuensi tersebut sesuai dengan kadar perbuatan anak, jadi harus proporsional. Tidak melakukan generalisasi atas sebuah hal baik akan diberi satu jenis reward, begitupun satu hal tidak baik akan diberi satu jenis imbalan yang tidak baik juga, tetapi harus pandai membedakan dengan segala macam variasi konsekuensi, baik berdasarkan besar kecilnya kesalahan atau intensitasnya, baru pertama kali kah atau sudah berulang-ulang. Lalu bentuknya bagaimana, akan kita bahas demikian:
a. Reward atau konsekuensi perbuatan baik; tidak selalu harus berupa barang, tetapi suatu pujian, tatapan mata hangat, pelukan, ciuman, melakukan tos dengan anak, belaian, atau memberikan jempol pada anak, juga merupakan suatu bentuk ungkapan hadiah bagi anak. Jika memang ingin memberikan suatu hadiah barang pada anak, pilihlah momen-momen yang pas yang sangat berarti, misalnya saat kenaikan kelas, saat lulus dari Iqra’ 6, atau saat lulus menunaikan puasa ramadhan. Barang yang dipilih juga sebaiknya memang barang yang sangat diperlukan anak dan memang kewajiban orangtua untuk membelikannya. Jadi pemberian reward tidak akan menjadi beban ekonomi bagi orangtua, sebaliknya bagi anak akan memberikan kesan yang mendalam atas prestasi atau perbuatan baiknya. Jadi, jangan membelikan apa-apa kebutuhan anak, terlebih dengan harga mahal, tanpa mengatakan dengan jelas itu akibat dari konsekwensi perbuatannya yang mana, karena sayang sekali jika dilewatkan momen yang dapat menimbulkan motivasi bagi anak. Misalnya ketika si anak mengatakan bahwa sepatunya sudah mulai kesempitan, maka Ibu bisa berkata: Oke nanti Ibu belikan yang baru, kita liat dulu ya hasil raportmu nanti bagaimana…, tinggal sebulan lagi kan terima raport? Dengan demikian anak tentunya akan terpacu lebih giat belajar. Nah, ketika hasil raportnya memang memuaskan, si Ibu ya harus menepati janjinya untuk mebelikan sepatu. Kalau pun hasilnya kurang memuaskan, dapat dikatakan: Ya kita tetap beli sepatu, tapi tidak semahal atau sebagus yang kamu inginkan….
b. Punishment atau konsekuensi dari perbuatan yang tidak atau kurang baik harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: tidak boleh sama sekali merendahkan harga diri anak, tidak boleh memberi hukuman fisik sama sekali (seperti memukul, menjewer atau mencubit), tidak menggunakan kata-kata ancaman (seperti awas !!). Rasa sakit yang dirasakan anak akibat hukuman fisik mungkin akan hilang hanya dalam hitungan menit atau hari, tetapi rasa sakit di kalbunya akan terbawa sampai ia dewasa kelak dan dapat mempengaruhi pembentukan karakter pribadinya. Kata-kata ancaman yang diberikan kepada anak sebenarnya sudah merupakan hukuman bagi anak sebelum ia melakukan apa-apa, bisa jadi hal tersebut justru menghambat potensi dan kreativitasnya untuk berkembang.
4. Setiap konsekuensi yang diberikan sebaiknya selalu mengandung nilai (value), dan setiap nilai yang ingin ditransfer sebaiknya diucapkan agar tidak terjadi mis-persepsi pada anak.
Misalnya ketika suatu saat sang anak sangat manis, tertib dan melakukan segala sesuatu sangat sesuai dengan yang diharapkan orangtuanya, lalu orangtuanya membelikan berbagai macam barang tanpa mengucapkan apa-apa, maka bisa saja sang anak berfikir bahwa orangtuanya sedang banyak uang sehingga memberikannya banyak hadiah. Nah, sayang sekali jika kita kehilangan momen seperti itu. Akan lebih bermakna jika orangtua mengatakan misalnya: ini Ibu belikan mukena baru karena kamu sholatnya sangat rajin, jadi mukena ini bisa untuk kamu ganti-ganti kalau sholat, hal ini akan semakin memacu anak untuk lebih giat lagi sholatnya. Atau seorang Ibu yang sedang marah pada anaknya karena tidak mau merapikan mainannya, tapi ibu hanya melakukannya dengan memberi wajah cemberut pada anak, maka hal itu tidak akan ‘nembak’ ke sasaran yang dituju. Lebih baik katakan bahwa “Ibu sangat senang dan semakin sayang kalau adek mau merapikan mainannya.”
· Bersikap adil lah para Ayah dan Bunda, tidak hanya pandai melihat kesalahan atau kekurangan anak sehingga mudah memberikan punishment, tetapi juga jeli melihat kepandaian atau kelebihan anak kita, sehingga kita juga tidak pelit dalam memberikan pujian atau hadiah pada anak kita. Setiap anak dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukankah dengan menjadi orangtua cerdas dalam memilih reward-punishment yang tepat bagi anak, akan membuat anak kita cerdas untuk bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.
Anak adalah karunia terindah, sudah siapkah kita mengantar mereka menyambut masa depannya yang indah juga, seindah senyum-senyum mereka....
Hadirkan senyum diwajah anak-anak kita |
Ayah bunda, anak kita akan menjadi seperti apa yang kita harapkan manakala kita memperlakukan mereka dengan tepat sesuai situasinya. Terkadang kita melewatkan moment dimana anak kita perlu apresiasi dan mendapatkan empowerment dari kita. Bentuk apresiasi atas anak ini beragam namun ada yang khusus dalam merespons sikap anak. Nah salah satu pendekatan itu, adalah reward dan punishment.
Reward adalah bentuk apresiasi sikap atau perilaku anak dalam bentuk sesuatu yang dia ‘suka’. Dalam bahasa mudah ini adalah hadiah buat mereka. Sementara Punishment adalah pemberian sangsi atau orang tua suka mengistilahkannya hukuman.
Kita buat kesepakatan yuk antara Ayah-Bunda dan Ibu Guru tentang pemberian Reward- Punishment yang sesuai bagi anak. Hal-hal yang kita sepakati adalah:
1. Tidak menggunakan kata hukuman bagi kesalahan anak.
Tapi memberi pengertian pada anak bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan konsekuensi atau efek bagi anak. Setiap konsekuensi adalah hasil dari perbuatannya, baik positif atau negatif. Hal ini kita lakukan agar anak terbiasa memiliki rasa tanggungjawab dan tau akan semua konsekswensi atas setiap perbuatannya.
2. Pentingkah melakukan kebiasaan ini?
Menurut saya; Ya, penting. Karena dengan membiasakan memberi reward kepada anak akan membuat anak merasa berharga, dan juga bisa menjadi salah satu cara memotivasinya ke arah yang lebih baik. Apakah kebiasan ini nantinya tidak akan membentuk anak yang manja dan selalu mengharapkan balasan dari perbuatannya. InsyaAllah tidak, tentu saja jika kita melakukannya dengan cara yang tepat. Sesuai dengan perjalanan umur dan kedewasaannya kelak anak akan sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baik. Sebenarnya secara tidak langsung, kita orang dewasa pun sehari-hari juga selalu melakukan sesuatu karena adanya ‘motif’ atau iming-iming akan sesuatu, misalnya yang paling tinggi adalah mengharap pahala (surga) atau menghindari dosa (neraka). Bagi anak-anak usia TK (4-6 tahun), menurut Piaget dalam teori perkembangan anak, mereka berada dalam tahap Pra-Operasional Kongkrit, artinya mereka berada di dalam fase yang belum bisa membayangkan ssesuatu yang tidak nyata, juga masih belum bisa memahami sudut pandang orang lain terhadap sesuatu, sehingga bagi anak usia anak-anak kita di TK belum dapat mengkonkritkan surga atau neraka ke dalam pikiran atau kalbunya, maka perlu untuk mewujudkan konseksuensi tersebut dalam bentuk yang nyata. Lalu menjadi kewajiban kitalah para orangtua untuk mencari cara yang cerdas dan kreatif dalam melakukan teknik iming-iming ini.
3. Bagaimana bentuk pemberian konsekuensi yang baik bagi anak?
Yang penting diingat adalah berilah konsekuensi tersebut sesuai dengan kadar perbuatan anak, jadi harus proporsional. Tidak melakukan generalisasi atas sebuah hal baik akan diberi satu jenis reward, begitupun satu hal tidak baik akan diberi satu jenis imbalan yang tidak baik juga, tetapi harus pandai membedakan dengan segala macam variasi konsekuensi, baik berdasarkan besar kecilnya kesalahan atau intensitasnya, baru pertama kali kah atau sudah berulang-ulang. Lalu bentuknya bagaimana, akan kita bahas demikian:
a. Reward atau konsekuensi perbuatan baik; tidak selalu harus berupa barang, tetapi suatu pujian, tatapan mata hangat, pelukan, ciuman, melakukan tos dengan anak, belaian, atau memberikan jempol pada anak, juga merupakan suatu bentuk ungkapan hadiah bagi anak. Jika memang ingin memberikan suatu hadiah barang pada anak, pilihlah momen-momen yang pas yang sangat berarti, misalnya saat kenaikan kelas, saat lulus dari Iqra’ 6, atau saat lulus menunaikan puasa ramadhan. Barang yang dipilih juga sebaiknya memang barang yang sangat diperlukan anak dan memang kewajiban orangtua untuk membelikannya. Jadi pemberian reward tidak akan menjadi beban ekonomi bagi orangtua, sebaliknya bagi anak akan memberikan kesan yang mendalam atas prestasi atau perbuatan baiknya. Jadi, jangan membelikan apa-apa kebutuhan anak, terlebih dengan harga mahal, tanpa mengatakan dengan jelas itu akibat dari konsekwensi perbuatannya yang mana, karena sayang sekali jika dilewatkan momen yang dapat menimbulkan motivasi bagi anak. Misalnya ketika si anak mengatakan bahwa sepatunya sudah mulai kesempitan, maka Ibu bisa berkata: Oke nanti Ibu belikan yang baru, kita liat dulu ya hasil raportmu nanti bagaimana…, tinggal sebulan lagi kan terima raport? Dengan demikian anak tentunya akan terpacu lebih giat belajar. Nah, ketika hasil raportnya memang memuaskan, si Ibu ya harus menepati janjinya untuk mebelikan sepatu. Kalau pun hasilnya kurang memuaskan, dapat dikatakan: Ya kita tetap beli sepatu, tapi tidak semahal atau sebagus yang kamu inginkan….
b. Punishment atau konsekuensi dari perbuatan yang tidak atau kurang baik harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: tidak boleh sama sekali merendahkan harga diri anak, tidak boleh memberi hukuman fisik sama sekali (seperti memukul, menjewer atau mencubit), tidak menggunakan kata-kata ancaman (seperti awas !!). Rasa sakit yang dirasakan anak akibat hukuman fisik mungkin akan hilang hanya dalam hitungan menit atau hari, tetapi rasa sakit di kalbunya akan terbawa sampai ia dewasa kelak dan dapat mempengaruhi pembentukan karakter pribadinya. Kata-kata ancaman yang diberikan kepada anak sebenarnya sudah merupakan hukuman bagi anak sebelum ia melakukan apa-apa, bisa jadi hal tersebut justru menghambat potensi dan kreativitasnya untuk berkembang.
4. Setiap konsekuensi yang diberikan sebaiknya selalu mengandung nilai (value), dan setiap nilai yang ingin ditransfer sebaiknya diucapkan agar tidak terjadi mis-persepsi pada anak.
Misalnya ketika suatu saat sang anak sangat manis, tertib dan melakukan segala sesuatu sangat sesuai dengan yang diharapkan orangtuanya, lalu orangtuanya membelikan berbagai macam barang tanpa mengucapkan apa-apa, maka bisa saja sang anak berfikir bahwa orangtuanya sedang banyak uang sehingga memberikannya banyak hadiah. Nah, sayang sekali jika kita kehilangan momen seperti itu. Akan lebih bermakna jika orangtua mengatakan misalnya: ini Ibu belikan mukena baru karena kamu sholatnya sangat rajin, jadi mukena ini bisa untuk kamu ganti-ganti kalau sholat, hal ini akan semakin memacu anak untuk lebih giat lagi sholatnya. Atau seorang Ibu yang sedang marah pada anaknya karena tidak mau merapikan mainannya, tapi ibu hanya melakukannya dengan memberi wajah cemberut pada anak, maka hal itu tidak akan ‘nembak’ ke sasaran yang dituju. Lebih baik katakan bahwa “Ibu sangat senang dan semakin sayang kalau adek mau merapikan mainannya.”
· Bersikap adil lah para Ayah dan Bunda, tidak hanya pandai melihat kesalahan atau kekurangan anak sehingga mudah memberikan punishment, tetapi juga jeli melihat kepandaian atau kelebihan anak kita, sehingga kita juga tidak pelit dalam memberikan pujian atau hadiah pada anak kita. Setiap anak dilahirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukankah dengan menjadi orangtua cerdas dalam memilih reward-punishment yang tepat bagi anak, akan membuat anak kita cerdas untuk bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.
Anak adalah karunia terindah, sudah siapkah kita mengantar mereka menyambut masa depannya yang indah juga, seindah senyum-senyum mereka....